Asal Usul Banyuwangi : Antara Legenda dan Sejarah
Banyuwangi memiliki cerita atau asal usul, ada 2 versi tentang asal usul ini yaitu versi legenda dan kenyataan. Berikut ini kami informasikan asal usul Banyuwangi dalam 2 versi yang kami sajikan buat kamu. Kami mengumpulkan dari beberapa sumber informasi terkait awal mula terbentuknya Banyuwangi.
Mulai dari versi asli yang terjadi pada masa penjajahan belanda, yang awalnya bernama Blambangan dan berubah menjadi Banyuwangi. Ada juga legenda yang diambil dari kisah Sidopekso dan Sritanjung.
Cerita legenda merupakan salah satu seni budaya yang patut kita lestarikan dengan tidak mengesampingkan sejarah aslinya.
Versi Legenda
Tahukah kamu pada zaman dahulu ada seorang raja bernama Prabu Sulahkromo yang memimpin sebuah wilayah? Ia dibantu oleh seorang patih bernama Sidopekso dalam menjalankan pemerintahannya.
Sidopekso memiliki seorang istri yang cantik bernama Sri Tanjung. Namun sayang, secara diam diam Raja Prabu Sulahkromo jatuh hati pada istri patih. Sang Raja berniat mendapatkan Sri Tanjung dengan segala cara.
Prabu Sulahkromo membuat sebuah rencana licik dengan menugaskan Sidopekso berangkat ke sebuah wilayah yang cukup jauh yang membutuhkan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.
Tanpa ragu, Sidopekso langsung mengamini titah pimpinannya. Patih ini merupakan patih yang arif dan bijaksana. Sulahkromo seolah tidak ingin menyiakan waktu, Ia segera mendatangi Sri Tanjung dan mencoba membujuk rayunya. Namun kestiaan Sri Tanjung untuk memilih mempertahankan kehormatan dan teguh dalam pendiriannya, memilih setia kepada suaminya yang sedang pergi bertugas.
Karena melihat kesetiaan Sri Tanjung yang telah menolaknya, Sulahkromo menjadi emosi dan marah. Akhirnya Sang Raja menebarkan fitnah untuk Sri Tanjung untuk menutupi rasa malunya itu.
Patih Sidopekso pun pulang dari tugas, namun Ia merasa kaget dengan cerita Sulahkromo padanya. Sang Raja bercerita jika Sri Tanjung telah mendatanginya dan mengajaknya untuk bermain serong ketika sang Patih pergi bertugas. Fitnah dari Sulahkromo menyulut amarah dari Sidopekso. Tidak menunggu waktu lama, Ia pun langsung mendatangi Sri Tanjung.
Sang istri berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun Sidopekso tidak mempercayainya. Sang patih yang dibakar api cemburu langsung menyeret sang istri ke tepian sungai yang keruh dan kumuh. Sidopekso berniat membunuh istrinya yang dianggapnya tidak setia kepadanya.
Sri Tanjung lantas menjelaskan satu permintaan terakhir pada suaminya. Permintaan agar meceburkan jasadnya ke dalam sungai yang keruh itu setelah dibunuh. Sri Tanjung mengatakan apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk maka dia memang bersalah, tapi jika air sungai itu berbau harum (wangi) itu berarti dia tidak bersalah.
Sidopekso sudah gelap mata dan tanpa pikir panjang langsung saja menikamkan kerisnya ke dada Sri Tanjung. Darah keluar dari tubuh wanita cantik tersebut. Sesuai permintaan Sri Tanjung, Sidopekso langsung melempar mayat Sri Tanjung ke sungai.
Tidak lama setelah Sidopekso melemparkan jasad istrinya, sungai yang tadinya keruh dan kumuh itu berangsur-angsur menjadi jernih seperti kaca. Sungai tersebut juga berbau harum atau wangi. Kenyataan itu membuat Sidopekso kaget dan menyesali pebuatannya. Ia tidak bisa menguasai diri, jalannya terhuyung-huyung, jatuh dan jadi linglung. Tanpa sadar, ia menjerit "Banyu..., wangi..., Banyu wangi..., Banyuwangi."
Banyuwangi terlahir dari bukti cinta suci sang istri pada suaminya.
Versi Sejarah Banyuwangi
Banyuwangi dulunya lebih dikenal dengan nama Blambangan. Mungkin kamu pernah mendengar wilayah dengan nama Blambangan, itulah Banyuwangi sekarang ini.
Proses perubahan Blambangan menjadi Banyuwangi ternyata melalui proses peperangan yang jarang disebut dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Perang dahyat antara rakyat melawan VOC ini dinamakan perang Puputan Bayu yang berlangsung selama 5 tahun.
Pada pertengahan abad ke-17, Sebelum menjadi Banyuwangi wilayah tersebut merupakan wilayah Kerajaan Blambangan. Kerajaan dengan mayoritas beragama Hindu yang dipimpin oleh Pangeran Tawang Alun. Namun secara administratif, VOC masih mengakui wilayah Blambangan sebagai wilayah kekuasaannya.
Penguasan tersebut didasari saat penyerahan kekuasaan Jawa bagian timur oleh Pakubuwono II kepada VOC. Pakubuwono II notabene adalah penguasa Mataram, namun Mataram sendiri pada kenyataannya tidak pernah mampu menguasai daerah Blambangan. VOC pun juga tidak pernah mampu menguasai kerajaan Blambangan sampai akhir abad ke-17.
Kemudian Inggris datang ke Blambangan dengan tujuan membuka perniagaan. Pemerintah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan yang sekarang dikenal sebagai kompleks Inggrisan. Tempat itu merupakan bekas kantor dagang Inggris saat itu. Dengan munculnya kompetitor yang sama - sama berasal dari Eropa, VOC segera bergerak untuk mengamankan kekuasaanya. Pada akhir abad ke-18, persaingan itu semakin meruncing sedikit demi sedikit. Sampailah akhirnya terjadi gesekan dan menyulut perang besar selama lima tahun (1767–1772).
VOC dengan gigih ingin merebut Blambangan dari Inggris. Wilayah Banyuwangi memang sangat strategis dan menguntungkan khususnya dalam perdagangan. Inggris pun juga berusaha memperjuangkan wilayah tersebut. Namun pada akhirnya VOC yang memenangkan pertempuran tersebut. Pada 18 Desember 1771, VOC memindahkan pusat pemerintahan dari Blambangan ke daerah Banyuwangi. Adalah R. Wiroguno I (Mas Alit) yang diangkat VOC sebagai bupati Banyuwangi pertama.
Tidak berhenti sampai disitu karena perlawanan sporadis rakyat Blambangan masih terjadi beberapa waktu kemudian. Sejak saat itu Perang Puputan Bayu diperingati sebagai proses lahirnya Banyuwangi. Pada tanggal 18 Desember 1771 ditetapkan sebagai hari kelahiran kabupaten terluas di Jawa Timur itu.